Minggu, 20 Januari 2013

Legenda BOYOLALI





ASAL MULA BOYOLALI
  
Asal mula nama BOYOLALI menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal. Dalam Menurut legenda nama BOYOLALI berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI. Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai Wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam. Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandungan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istri ketika berada di sebuah hutan belantara beliau dirampok oleh tiga orang yang mengira beliau membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama SALATIGA. Perjalanan diteruskan hingga sampailah disuatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali. Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng Beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ BAYAWIS LALI WONG IKI” yang dalam bahasa Indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”. Dari kata Baya Wis Lali maka jadilah nama BOYOLALI. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang. Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini. Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali, konon menurut masyarakat setempat batu ini dulu adalah tempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Dalam istirahatnya Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu). Karena batu ini mirip dakon,masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya.

Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali tidaklah mudah. Untuk menetapkan hari jadi yang selalu diperingati setiap tanggal 5 pada bulan Juni memakan waktu yang cukup lama dan perlu penelusuran sejarah yang panjang. Penetapan Hari Jadi Kabupaten Boyolali sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini didasarkan atas Surat Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali dengan dengan Lembaga Penelitian UNS pada 11 September 1981. Setelah melakukan penelusuran sejarah, selanjutnya pada 23 Pebruari 1982 di Gedung DPRD Kabupaten Boyolali diselenggarakan seminar tentang SEJARAH HARI JADI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BOYOLALI. Dalam seminar ini telah disimpulkan tanggal 5 Juni 1847 merupakan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Selanjutnya melalui Rapat Paripurna DPRD pada tanggal 13 Maret1982 telah ditetapkan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Boyolali Nomor 3 Tahun 1982 tentang Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali. Perda tersebut telah diundangkan melalui Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali pada tanggal 22 Maret 1982 Nomor 5 Tahun 1982 Seri D Nomor 3.

Lgenda Kota BATANG





ASAL USUL KOTA BATANG
Kota Batang, menurut legenda yang beredar di masyarakat, Batang berasal dari dua kata bahasa Jawa, 'ngembat' yang artinya mengangkat/mengambil dan 'watang' yang artinya batang kayu. Perihal mengangkat batang kayu ini erat kaitannya dengan perjuangan tentara Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia.

Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.

Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.

Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.

Raja Uling marah melihat anak buahnya dikalahkan dan membalas dengan menyerang Bahurekso menggunakan pedang sakti Swedang. Karena kesaktian pedang itu, Bahurekso dapat dikalahkan. Atas nasehat ayahanda dari Bahurekso, siasat pun dijalankan untuk mengalahkan raja Uling. Bahurekso merayu adik raja Uling yang bernama Dribusowati untuk mendapatkan pedang sakti Swedang. Rayuan berhasil dan Dribusowati setuju untuk mengambilkan pedang sakti kakaknya itu untuk diserahkan kepada Bahurekso. Dengan pedang sakti itu, dengan mudah raja Uling dikalahkan. Dengan demikian, tidak ada lagi siluman yang merusak bendungan tersebut.

Satu masalah lagi yang harus dipecahkan agar bendungan itu dapat mengalirkan air ke areal persawahan karena nampaknya, air bendungan tidak mengalir lancar untuk melakukan tugasnya. Ternyata, ditemukan satu batang kayu (Jawa: watang) yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh-puluh orang berusaha mengangkat batang kayu tersebut namun tidak berhasil. Bahurekso pun menggunakan kesaktiannya untuk mengangkat/mengambil (Jawa: ngembat) batang kayu (Jawa: watang) tersebut dengan sekali angkat.

Legenda Desa Sidalang



Diceritakan oleh  Budi Heriyanto, S. Pd.

Sidalang adalah nama sebuah desa bagian dari wilayah kecamatan Tersono, kabupaten Batang, Jawa Tengah.  Secara geografis, perkampungan ini berada di sebuah perbukitan atau dataran tinggi, kira-kira tujuh kilometer di sebelah selatan  kecamatan Tersono.  Desa tersebut terdiri atas empat perdukuhan (dusun) yaitu Dukuh Sidalang, Dukuh Delisen, Dukuh Bonjor dan Dukuh Sibobor.                                                                                                      Waktu tempuh sekitar 15 – 30 menit dengan menggunakan sepeda motor dari pusat kecamatan. Karena lokasinya  di sebuah perbukitan, perjalanan  ke desa tersebut  harus melewati banyak medan tanjakan dan sarat dengan tikungan  tajam. Namun demikian, selain pemandangan tepi jalan yang rindang oleh pepohonan melinjo, kopi, cengkeh, sengon (abasia), dan jenis tanaman lainnya, jalan  ke desa tersebut sudah cukup bagus (beraspal) karena sebagai rute lintas antardesa maupun antarkecamatan yang lain, yaitu kecamatan Sukorejo ( kabupaten Kendal) dan kecamatan Bawang.
Seperti tempat-tempat lainnya, desa ini ternyata juga memiliki legenda yang unik dan menarik. Bahkan  ceritanya masih  ada kaitannya dengan keberadaan Alas Roban                     (Hutan Roban).
Alkisah, dahulu kala, salah satu  kerajaan  di nusantara yang bermusuhan kuat dan  menolak mentah-mentah  keberadaan  pemerintah Kompeni (Belanda)  yaitu Kerajaan  Mataram. Salah satu usahanya yaitu mengadakan penyerangan dan pertempuran , walaupun saat itu posisi kompeni berada di Batavia.  Untuk itu kerajaan Mataram  mengirimkan dan menempatkan banyak prajurit ( bala tentara) di wilayah Batavia. Dengan demikian, kerajaan  Mataram sering mengirimkan prajurit-prajurit lainnnya untuk membawa dan  mengantarkan perbekalan maupun  segala kebutuhan pangan guna mencukupi bala tentara di Batavia. Mereka harus berjalan beratus-ratus kilometer  meter melewati berbagai medan. Dan, sampailah mereka di sebuah hutan belantara yang dikenal sebagai Alas Roban
Dahulu kala, Alas Roban ini merupakan tempat yang paling angker (menyeramkan), “jalma mara jalma mati “ (jalma : manusia, maksudnya, siapa pun manusia yang masuk daerah itu tidak akan bisa keluar dengan selamat). Selain terkenal sebagai pusat alaming lelembut (alam kegelapan) yang dipimpin oleh Raja Siluman Uling yang bernama Kolo Drubikso, Alas Roban juga merupakan  markas induk para begal, kecu  (Indonesia: penyamun), dan para perampok yang terkenal kejam dan berdarah dingin. Mereka menghadang siapa saja yang melewati hutan tersebut dan merampas semua barang bawaannya. Mereka seringkali menggunakan tindak kekerasan melukai pemiliknya. Bahkan, tidak segan-segan membunuh para mangsanya dengan kejam.

Hal ini juga dialami oleh para prajurit Mataram yang hendak mengirimkan bahan-bahan kebutuhan  ke Batavia. Di tengah-tengah hutan tersebut mereka dihadang oleh sekelompok perampok yang bersenjatakan parang dan pedang. Para perampok berniat  merampas semua barang bawaan dan perbekalan prajurit-prajurit itu. Mestinya, para prajurit Mataram  itu tidak akan memberikan atau merelakan barang-barangnya diminta perampok. Setelah  melalui perseteruan panjang dan perkelahian yang cukup lama, para perampok yang  jumlahnya jauh lebih sedikit,akhirnya terdesak kalah, dan mereka langsung melarikan diri. Prajurit Mataram tidak tinggal diam dengan kemenangan itu. Mereka terus mengejar para perampok. Cukup jauh mereka mengejar parampok-perampok yang masih terlihat mata itu. Namun, di suatu tempat para prajurit berhenti karena sosok-sosok bayangan perampok tadi hilang, lenyap tak telihat lagi keberadaannya. Akhirnya, para prajurit itu memutuskan untuk kembali     ke Alas Roban dan melanjutkan perjalanan mereka ke Batavia.
Peristiwa seperti ini terjadi berulang kali di hutan yang sama. Perampokan, pelarian  dan pengejaran terus terjadi. Sayangnya, pengejaran para prajurit Mataram  terhadap para perampok selalu berhenti dan menemui jalan buntu. Setiap sampi di tempat tertentu, di tempat yang sama dalam peristiwa sebelumnya, para perampok berhasil meloloskan diri dan meng hilang dari pandangan prajurit-prajurit tersebut.
Suatu ketika, untuk kesekian  kalinya, para parajurit Mataram  kembali melewati  Alas Roban dengan membawa perbekalan dan bahan kebutuhan  seperti biasanya. Kali ini jumlah pasukan lebih banyak daripada sebelumnya. Sekaligus mereka bertekat menangkap dan membasmi para perampok  di Alas Roban yang selalu mengganggu dan  menghambat perjalanan pengiriman barang itu.                                                                                                      Pucuk dicinta ulam  tiba, sesampai di hutan Roban, tanpa jera gerombolan  perompok kembali beraksi, menghadang dan hendak merampas barang-barang bawaan bala tentara Mataram tersebut. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Namun, mengingat jumlah prajurit Mataram lebih banyak dengan pesrsenjataan lebih lengkap, mereka dengan mudah mengatasi para perampok itu. Tidak sedikit dari pihak perampok yang terluka parah dan tewas meregang nyawa di tempat itu. Sebagian dari para perampok yang selamat, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mereka terus berlari dan berlari. Begitu juga dengan  para prajurit, mereka  terus mengejar dan  mengejar untuk menangkap para perampok yang selalu meresahkan itu.                                                                                                                   Keanehan kembali terjadi, mereka pengejaran  mereka terhenti karena sosok para perampok lagi-lagi menghilang. Sebagian dari prajurit merasa heran, mengapa setiap sampai di tempat itu, para perampok sidane ilang (akhirnya hilang). Dan itu terjadi berulangkali di tempat yang sama.                                                                                                                                                     Dari kata sidane ilang itulah kemudian menjadi sidalang, dan tempat itu menjadi sebuah nama perkampungan, yaitu Sidalang.



Ternyata para prajurit tidak putus asa. Pengejaran perampok terus dilakukan walaupun mereka  tidak lagi melihat sosok dan jejak  para perampok. Mereka selalu menjelajahi daerah sekitar untuk mencari di mana persembunyian para perampok.                                                                                                                 Penjelajahan itu memakan waktu yang panjang dan melelahkan. Banyak dari mereka yang merasa kehausan. Akhirnya mereka istirahat. Hingga salah satu dari prajurit memutuskan untuk  mencari sumber mata air  di sekeliling peristirahatan mereka.  Tak satu pun didapatinya. Prajurit itu terus mencari air untuk dirinya dan teman-temannya. Setelah berjalan agak jauh, ia berhasil menemukan sebuah sumur tua dalam tanah.     Ia hendak mendekatinya untuk mengambil air sebyak-banyaknya. Namun, setelah sampai di bibir sumur ia mencium bau banger ( Indonesia=bangar : busuk/ tidak sedap). Ia pun tidak jadi mengambil air itu dan kembali ke tempat teman-temannya beristirahat serta melaporkan bahwa di baru saja menemukan sumur tetapi banger. ( Sumurbanger: nama sebuah desa dekat desa Sidalang).
Perjalanan pencarian tetap dilanjutkan. Mereka berputar-putar mencari di tempat yang tidak jauh dari hilangnya para perampok. Akhirnya mereka berhasil menemukan sebuah bonjor (Indonesia = kubu : benteng ; markas pertahanan/ persembunyian) di sebuah lereng bawah. Ternyata di situlah tempat para perampok Alas Roban bersarang dan bersembunyi. Singkat cerita, para perampok tersebut bertekuk lutut dan menyerah kalah terhadap prajurit- prajurit Mataram.       
Sebenarnya, tempat itu (bonjor) hampir tidak terlihat karena lokasinya yang dekat lembah dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar serta semak belukar yang masih lebat. (Bonjor merupakan salah satu  nama dukuh/dusun di desa Sidalang).
Demikianlah sekilas legenda asal-usul desa Sidalang yang  dikait-kaitkan dengan mitos atau peristiwa masa lampau.

Taksonomi Bloom




Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disoleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.usun
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
  1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
  2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
  3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
Daftar isi
Domain Kognitif
Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6)
Pengetahuan (Knowledge)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk.
Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram.
Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
Sintesis (Synthesis)
Satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
Evaluasi (Evaluation)
Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb.
Domain Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol.
Penerimaan (Receiving/Attending)
Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya.
Tanggapan (Responding)
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
Penghargaan (Valuing)
Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
Pengorganisasian (Organization)
Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex)
Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya.
Domain Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom.
Persepsi (Perception)
Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan.

Kesiapan (Set)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
Guided Response (Respon Terpimpin)
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan gerakan coba-coba.
Mekanisme (Mechanism)
Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan cakap.
Respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response)
Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks.
Penyesuaian (Adaptation)
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi.
Penciptaan (Origination)
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.
Rujukan
Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay.
Gronlund, N. E. (1978). Stating Objectives for Classroom Instruction 2nd ed. New York: Macmilan Publishing.
Krathwohl, D. R. ed. et al. (1964), Taxonomy of Educational Objectives: Handbook II, Affective Domain. New York: David McKay.
 
Artikel bertopik pendidikan ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasind